BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Garis-garis Besar Haluan Negara adalah haluan negara tentang
pembangunan nasional dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat setiap lima tahun
Untuk memberikan gambaran mengenai wujud masa depan yang
diinginkan dan diperjuangkan serta bagaimana mencapainya, baik dalam jangka
panjang maupun dalam jangka sedang, Garis-garis Besar Haluan Negara yang
materinya meliputi Pembangunan Nasional, Pembangunan Jangka Panjang Kedua,
Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, dan Pelaksanaan disusun dalam sistematika
sebagai berikut
Garis-garis Besar Haluan Negara ditetapkan dengan maksud
untuk memberikan arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi
kemerdekaannya dengan tujuan mewujudkan kondisi yang diinginkan, baik dalam
jangka sedang 5 tahun maupun dalam jangka panjang 25 tahun, sehingga secara
bertahap cita-cita bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dapat dicapai, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur.
1.2. Rumusan Masalah
1.1.1
Apa
tujuan factor dominan ?
1.1.2
Apakah
tujuan dari trilogi pembangunan?
1.1.3
Bagaimana
pokok pikiran yang terkandung dalam GBHN?
1.1.4
Bagaimana
proses pola dasar pembangunan nasional?
1.3. Tujuan Masalah
1.1.1
Mengetahui
faktor dominan
1.1.2
Mengetahui
triologi bembangunan Nasional
1.1.3
Mengetahui
pokok pikiran yang terkandung dalam GBHN
1.1.4
Mengetahui
pola dasar pembangunan Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.1
Mengetahui faktor dominan
Faktor dominan adalah segala sesuatu yang harus diperhatikan
dalam penyelenggaraan pembangunan agar memperlancar pencapaian sasaran
pembangunan nasional, meliputi:
a.
Kependudukan
dan sosial budaya, termasuk pergeseran nilai dan perkembangan aspirasi rakyat yang
dinamis.
b.
Wilayah
yang bercirikan kepulauan dan kelautan dengan lingkungan dan alam tropiknya.
c.
Sumber
daya alam yang beraneka ragam dan tidak merata penyebarannya, termasuk flora
dan fauna.
d.
Kualitas
manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia dan penguasaannya terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi.
e.
Disiplin
nasional yang merupakan perwujudan kepatuhan dan ketaatan kepada hukum dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
f.
Manajemen
nasional sebagai mekanisme penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
g.
Perkembangan
regional dan global serta tatanan internasional yang selalu berubah secara
dinamis.
h.
Kemungkinan
pengembangan.
1.1.2
Mengetahui triologi bembangunan
Nasional
Trilogi Pembangunan adalah wacana pembangunan nasional
yang dicanangkan oleh pemerintahan orde baru di Indonesia
dalam sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam
melaksanakan pembangunan negara.
Trilogi pembangunan terdiri dari:
- Stabilitas Nasional yang dinamis
- Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan
- Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya.
Kontroversi
Pencanangan trilogi pembangunan ini menuai kontroversi
karena pada pelaksanaannya mengakibatkan hal-hal berikut:
- Pelaksanaan stabilitas politik menghasilkan regulasi dimana diterbitkan sejumlah peraturan yang mengakibatkan pengendalian pers dan pengendalian aksi mahasiswa. Dalam hal prosedural diterbitkan Undang-Undang tentang Organisasi Massa dan Undang Undang Partai Politik
- Pertumbuhan ekonomi menghasilkan penanaman modal asing yang mengakibatkan hutang luar negeri. Serbuan para investor asing ini kemudian melambat ketika terjadi jatuhnya harga minyak dunia, yang mana selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun 1983-1988. Tanpa disadari, kebijakan penarikan investor yang sangat liberal ini mengakibatkan undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal menjadi yang sangat liberal di lingkup dunia internasional. Namun kebijakan yang sama juga menghasilkan intensifikasi pertanian di kalangan petani.
- Dalam pemerataan hasil, pelaksanaannya membuka jalur-jalur distributif seperti kredit usaha tani dan mitra pengusaha besar dan kecil seperti (bapak asuh)
1.1.3
Mengetahui pokok pikiran yang
terkandung dalam GBHN
Pembangunan hukum selama masa Orde Baru menjadi alat
penopang dan pengaman pembangunan nasional yang secara kasar telah direduksi
hanya sebagai proses pertumbuhan ekonomi semata. Pranata-pranata hukum di masa
tersebut lebih banyak dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi
kekuasaan pemerintah, sebagai sarana untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi,
dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Konsep
pembangunan model ini tercantum dalam setiap Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN), terakhir pada tahun 1998.
Kerangka pemikiran pembangunan hukum tersebut secara nyata
telah mengabaikan cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia.
Dalam konstitusi UUD 1945 telah dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), bukan negara
berdasar atas kekuasaan (machtsstaat), sehingga hukum berikut seluruh
pranata pendukungnya adalah dasar dan kerangka bagi proses penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan semata-mata sebagai alat dari
kepentingan sekelompok orang yang berkuasa dan bukan pula alat dari suatu
sistem yang cenderung mengabaikan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Gagasan negara berdasar atas hukum muncul dari para pendiri
negara ini dengan dilandasi oleh prinsip-prinsp demokrasi dan keadilan sosial,
artinya hukum dan segala wujud nilai-nilai yang kemudian diejawantahkan ke
dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang,, baik secara
nyata-nyata maupun tersamar, dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan
sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri tersebut justru seyogyanya menjadi
dasar pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.
Dalam rentang waktu panjang kesejarahan bangsa Indonesia,
negara dan hukum yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini seringkali
tidak berdaya untuk membantah dan menahan arus kepentingan sekelompok orang
yang pada gilirannya justru mengorbankan hak-hak rakyat banyak, yang pada
hakekatnya juga mengorbankan misi suci dari hukum itu sendiri. Hukum dalam
banyak hal, sebagaimana telah dinyatakan di atas, malah acap kali
bermetamorfosis menjadi "lembaga pengesah" kesewenang-wenangan dan "lembaga
penghukum" pencari keadilan. Khusus di masa Orde Baru, secara nyata-nyata
hukum menjadi alat stabilitas politik, alat penumpuk kekayaan, dan alat pelumas
putaran roda pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari pengkerdilan hukum tersebut
adalah porak porandanya sistem hukum, baik dari segi kelembagaan hukum,
substansi materi hukum, maupun budaya hukum.
Dalam keadaan seperti itu, maka yang dibutuhkan untuk
membangun kembali tatanan hukum yang menjunjung tinggi keadilan adalah
merekonstruksi kembali bangunan hukum yang baru dengan landasan cita-cita luhur
yang terkandung dalam pembukaan konstitusi, yaitu demokrasi dan keadilan
sosial, dengan secara dinamis memberikan perhatian pada perkembangan masyarakat
Indonesia saat ini. Hal tersebut sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah
ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
Sebagai Haluan Negara, yang menyatakan dalam Bab Pendahuluan Bagian Pengantar
alinea ketiga bahwa upaya pembenahan situasi krisis multidimensional ini adalah
dengan cara "... koreksi terhadap wacana pembangunan Orde Baru sebagai
dasar pijakan dan sasaran reformasi."
Pada masa di mana dinamika masyarakat yang begitu cepat
berubah dan berkembang saat ini, dan pada masa di mana pandangan-pandangan yang
konservatif tidak lagi mendapat ruang untuk merefleksikan dirinya, hukum
Indonesia dipacu untuk membenahi kerangka-kerangka tubuhnya yang telah jatuh
berserakan karena selubung dan rekat-rekat pembalutnya telah ditanggalkan,
sehingga terkuaklah kenyataan bahwa ia sebenarnya tidak pernah tumbuh dan
berkembang. Dengan bahan dasar kerangka-kerangka tersebut diharapkan disusun
suatu bangunan yang kokoh, yang tidak bersandar dan disandari oleh
bangunan-bangunan lain.
Segera setelah itu hukum Indonesia dituntut untuk dapat
mengkreasikan bentuknya menjadi pedoman bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa
dan bernegara sekaligus sebagai pencari jalan keluar bagi
permasalahan-permasalahan hukum dalam masyarakat Indonesia. Beban yang sungguh
berat dan sarat dengan idealisme yang tampaknya tidak didasarkan pada
kenyataan-kenyataan kemasyarakatan yang sesungguhnya.
Kajian ini berusaha untuk menempatkan proses pembangunan
hukum Indonesia pada keadaan yang sesungguhnya dalam sejarah perkembangan
masyarakat Indonesia sampai saat ini, dan kemudian secara jernih berupaya
membangun langkah-langkah yang mendasar bagi proses pembangunan hukum Indonesia
di masa mendatang. Dalam kajian ini hukum beserta seluruh sistem dan instrumen
pendukungnya dianggap sebagai hasil dari konstruksi tatanan masyarakat dalam
rentang waktu kesejarahan yang panjang seiring dengan dinamika nasional dan
internasional.
Dengan pangkal tolak pemikiran semacam itu, kajian ini
bertujuan pertama-tama untuk mendeskripsikan kondisi obyektif bidang hukum di
Indonesia saat ini dan kemudian menganalisisnya dalam kerangka dinamika
perkembangan masyarakat Indonesia beserta kebutuhan-kebutuhannya di masa
mendatang, khususnya di bidang hukum. Setelah itu akan diajukan rekomendasi
berupa komentar dan usulan terhadap butir-butir dari draft Rancangan GBHN Tahun
1999 Bidang Hukum yang disusun oleh Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Dewan
Hankamnas) dalam bentuk matriks, sebagai pedoman pelaksanaan politik hukum
1.1.4
Mengetahui pola dasar pembangunan
Nasional
Pada masa orde baru pun sebenarnya telah dikenal istilah
perencanaan partisipatif melalui Pedoman Penyusunan Perencanaan dan
Pengendalian Daerah (P5D) yang dikelola oleh Departemen Dalam Negeri
(Permendagri No 9 Tahun 1982), dengan ketentuan teknis yang sangat
rinci. Falsafahnya adalah menjaring aspirasi masyarakat, mulai dari
tingkat desa, kecamatan, untuk dibawa ke tingkat pusat melalui serangkaian
forum-forum pertemuan dan konsultasi. Namun dalam kenyataannya sangat sedikit
usulan-usulan pembangunan dari tingkat desa yang dimasukkan dalam agenda
pembangunan Provinsi dan Nasional.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down
diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola
sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi dimana semangat perubahan dan
otonomi daerah telah berkembang sebelum dinamika reformasi terjadi.
Karakteristik lainnya adalah bahwa GBHN dirancang,
dirumuskan, dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini memilki
keunggulan dibanding ketetapan dalam bentuk Undang-Undang karena mengubah
Ketetapan MPR memerlukan konsensus politik yang lebih tinggi daripada undang-undang
sehingga lebih menjamin konsistensi dan kesinambungan pembangunan siapa pun
presidennya nanti. Konsisten berarti diikuti dan ditaati oleh seluruh
penyelenggara negara secara horisontal dan vertikal dari pusat ke daerah.
Berkelanjutan artinya diikuti dan ditaati oleh setiap rezim meskipun
berganti-ganti setiap lima tahun.
Dokumen perencanaan terkini selepas masa GBHN diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN). UU No 25/2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu
untuk (1) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (2) menjamin
terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang,
antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (3) menjamin
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (5) menjamin tercapainya
penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan
(Pasal 2).
Tujuan-tujuan tersebut sebenarnya mencerminkan bagaimana
seharusnya sistem perencanaan pembangunan menghasilkan rencana publik. Namun
jika dilihat lebih mendalam, kandungan UU tersebut belum merupakan suatu sistem
perencanaan yang mengarah pada tujuan-tujuan di atas. Dalam UU tersebut
tidak banyak pembaruan-pembaruan yang berarti bagi praktik perencanaan
pembangunan yang telah dijalankan di Indonesia selama ini. Hal yang menonjol
dalam UU itu adalah legitimasi eksistensi Kementerian Perencanaan
Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang pada masa GBHN dianggap tidak
diperlukan lagi kehadirannya.
Seperti juga dalam praktik perencanaan sebelumnya,
Undang-Undang tersebut sangat menonjolkan perencanaan sebagai produk (dokumen),
baik pada tingkat nasional, daerah, maupun Kementerian/Lembaga. Produk
merupakan hal yang penting, namun hal yang lebih penting adalah kualitas proses
dalam mencapai dokumen tersebut. Kualitas proses inilah yang boleh jadi tidak
disentuh dalam UU No 25/2004. Dalam UU tersebut memang ditegaskan tentang
keharusan adanya kelembagaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan)
dalam penyusunan rencana, namun hanya menyebut permukaannya saja (Pasal 10 ayat
3; Pasal 11 ayat 1; dan Pasal 12 ayat 1), tidak seperti pada Pasal-pasal
tentang Produk (Dokumen) yang dijelaskan dengan sangat rinci. Hal tersebut
mencerminkan masih adanya ‘jurang’ (gap) antara tujuan UU 25/2004 dengan
kandungannya, dimana isi kurang mencerminkan jiwa serta semangatnya.
Kondisi di atas menggambarkan bahwa dalam masa Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional yang disertai suasana yang euforia, banyak
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan sendiri-sendiri.
Pendanaannya juga ditunjang oleh berbagai donor baik luar maupun dalam negeri.
Perencanaan menjadi tidak terkait satu dengan lainnya, bahkan saling
bertentangan, yang pada gilirannya bisa menuju situasi yang kacau (chaotic).
Seyogyanya ‘Musrenbang’ menurut UU 25/2004 tidak terjadi
seperti masa orde baru yang bersifat Top-Down. Musrendang haruslah benar-benar
menjadi arena komunikasi timbal balik antara lembaga perencanaan dengan seluruh
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menetapkan keputusan kolektif.
Diantisipasi bahwa prosesnya akan sangat panjang dan melelahkan, namun itulah
tantangan untuk mewujudkan perencanaan yang lebih partisipatif.
Bila tidak hati-hati apa yang diamanatkan dalam UU 25/2004
dapat mengulang kesalahan lama, yaitu bahwa perencanaan dipandang sebagai
dokumen dan Blueprint yang disusun secara mekanistik, yang seringkali merupakan
formalitas (keharusan memiliki), dan hanya merupakan hiasan meja. Sesuatu yang
perlu disadari bahwa perencanaan publik merupakan suatu proses interaksi antara
birokrasi perencanaan dan publik yang bersifat majemuk. Proses ini harus
terjadi secara terus menerus sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ketiadaan GBHN merupakan konsekwensi logis dari pemilihan
presiden secara langsung. Sebab salahsatu aspek penilaian terhadap calon
presiden adalah visi atau rencana atau program yang ditawarkannyadalam upaya
pemerintahannya mencapai cita-cita bangsa bernegara. Tawaran tersebut harus
dapatdiwujudkannya pada masa jabatannya. Apabila tidak, maka yang bersangkutan
akan dianggap gagal,akibatnya dia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat untuk
jabatan berikutnya.
Dengan demikian pembuatan „rencana“ atau proses perencanaan
dalam mewujudkan cita-cita bangsa bernegara dimulai semenjak seseorang
mencalonkan dirinya menjadi presiden. Kemudian dijabarkannyasetelah yang
bersangkutan memenangi pemilu, serta dilaksanakannya, dan senantiasa dievaluasi
sertadipertanggung jawabkan kepada rakyat pemilihnya, selaku pemegang
kedaulatan tertinggi
3.2 Saran
Mungkin inilah yang
diwacanakan pada penulisan makalah kelompok kami, meskipun penulisan makalah
ini jauh dari sempurna minimal kami mengimplementasikan makalah ini. Masih
banyak kesalahan penulisan makalah
kelompok kami, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa. Dan kami
juga butuh saran dan kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang
lebih baik dari pada masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Ingham, Barbara, (1995), Economics
and Development, New York, NY: McGraw Hill.
Ø Republik Indonesia, (2003),
Undang-Undang No 17, Tahun 2003, tentang GBHN, Jakarta.
Ø Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan
Perundang-undangan, Makalah, Jakarta,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar