Minggu, 28 Desember 2014

PANCASILA (GBHN)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Garis-garis Besar Haluan Negara adalah haluan negara tentang pembangunan nasional dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat setiap lima tahun
Untuk memberikan gambaran mengenai wujud masa depan yang diinginkan dan diperjuangkan serta bagaimana mencapainya, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka sedang, Garis-garis Besar Haluan Negara yang materinya meliputi Pembangunan Nasional, Pembangunan Jangka Panjang Kedua, Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, dan Pelaksanaan disusun dalam sistematika sebagai berikut
Garis-garis Besar Haluan Negara ditetapkan dengan maksud untuk memberikan arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaannya dengan tujuan mewujudkan kondisi yang diinginkan, baik dalam jangka sedang 5 tahun maupun dalam jangka panjang 25 tahun, sehingga secara bertahap cita-cita bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat dicapai, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

1.2. Rumusan Masalah
1.1.1        Apa tujuan factor dominan ?
1.1.2        Apakah tujuan dari trilogi pembangunan?
1.1.3        Bagaimana pokok pikiran yang terkandung dalam GBHN?
1.1.4        Bagaimana proses pola dasar pembangunan nasional?
1.3. Tujuan Masalah
1.1.1        Mengetahui faktor dominan
1.1.2        Mengetahui triologi bembangunan Nasional
1.1.3        Mengetahui pokok pikiran yang terkandung dalam GBHN
1.1.4        Mengetahui pola dasar pembangunan Nasional


BAB II
PEMBAHASAN
1.1.1      Mengetahui faktor dominan
Faktor dominan adalah segala sesuatu yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pembangunan agar memperlancar pencapaian sasaran pembangunan nasional, meliputi:
a.         Kependudukan dan sosial budaya, termasuk pergeseran nilai dan perkembangan aspirasi rakyat yang dinamis.
b.        Wilayah yang bercirikan kepulauan dan kelautan dengan lingkungan dan alam tropiknya.
c.         Sumber daya alam yang beraneka ragam dan tidak merata penyebarannya, termasuk flora dan fauna.
d.        Kualitas manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
e.         Disiplin nasional yang merupakan perwujudan kepatuhan dan ketaatan kepada hukum dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
f.         Manajemen nasional sebagai mekanisme penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
g.        Perkembangan regional dan global serta tatanan internasional yang selalu berubah secara dinamis.
h.        Kemungkinan pengembangan.

1.1.2      Mengetahui triologi bembangunan Nasional

Trilogi Pembangunan adalah wacana pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan orde baru di Indonesia dalam sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara.
Trilogi pembangunan terdiri dari:
  • Stabilitas Nasional yang dinamis
  • Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan
  • Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya.

Kontroversi

Pencanangan trilogi pembangunan ini menuai kontroversi karena pada pelaksanaannya mengakibatkan hal-hal berikut:
  • Pelaksanaan stabilitas politik menghasilkan regulasi dimana diterbitkan sejumlah peraturan yang mengakibatkan pengendalian pers dan pengendalian aksi mahasiswa. Dalam hal prosedural diterbitkan Undang-Undang tentang Organisasi Massa dan Undang Undang Partai Politik
  • Pertumbuhan ekonomi menghasilkan penanaman modal asing yang mengakibatkan hutang luar negeri. Serbuan para investor asing ini kemudian melambat ketika terjadi jatuhnya harga minyak dunia, yang mana selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun 1983-1988. Tanpa disadari, kebijakan penarikan investor yang sangat liberal ini mengakibatkan undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal menjadi yang sangat liberal di lingkup dunia internasional. Namun kebijakan yang sama juga menghasilkan intensifikasi pertanian di kalangan petani.
  • Dalam pemerataan hasil, pelaksanaannya membuka jalur-jalur distributif seperti kredit usaha tani dan mitra pengusaha besar dan kecil seperti (bapak asuh)

1.1.3      Mengetahui pokok pikiran yang terkandung dalam GBHN
Pembangunan hukum selama masa Orde Baru menjadi alat penopang dan pengaman pembangunan nasional yang secara kasar telah direduksi hanya sebagai proses pertumbuhan ekonomi semata. Pranata-pranata hukum di masa tersebut lebih banyak dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, sebagai sarana untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Konsep pembangunan model ini tercantum dalam setiap Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), terakhir pada tahun 1998.
Kerangka pemikiran pembangunan hukum tersebut secara nyata telah mengabaikan cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia. Dalam konstitusi UUD 1945 telah dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasar atas kekuasaan (machtsstaat), sehingga hukum berikut seluruh pranata pendukungnya adalah dasar dan kerangka bagi proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan semata-mata sebagai alat dari kepentingan sekelompok orang yang berkuasa dan bukan pula alat dari suatu sistem yang cenderung mengabaikan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Gagasan negara berdasar atas hukum muncul dari para pendiri negara ini dengan dilandasi oleh prinsip-prinsp demokrasi dan keadilan sosial, artinya hukum dan segala wujud nilai-nilai yang kemudian diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang,, baik secara nyata-nyata maupun tersamar, dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri tersebut justru seyogyanya menjadi dasar pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.
Dalam rentang waktu panjang kesejarahan bangsa Indonesia, negara dan hukum yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini seringkali tidak berdaya untuk membantah dan menahan arus kepentingan sekelompok orang yang pada gilirannya justru mengorbankan hak-hak rakyat banyak, yang pada hakekatnya juga mengorbankan misi suci dari hukum itu sendiri. Hukum dalam banyak hal, sebagaimana telah dinyatakan di atas, malah acap kali bermetamorfosis menjadi "lembaga pengesah" kesewenang-wenangan dan "lembaga penghukum" pencari keadilan. Khusus di masa Orde Baru, secara nyata-nyata hukum menjadi alat stabilitas politik, alat penumpuk kekayaan, dan alat pelumas putaran roda pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari pengkerdilan hukum tersebut adalah porak porandanya sistem hukum, baik dari segi kelembagaan hukum, substansi materi hukum, maupun budaya hukum.
Dalam keadaan seperti itu, maka yang dibutuhkan untuk membangun kembali tatanan hukum yang menjunjung tinggi keadilan adalah merekonstruksi kembali bangunan hukum yang baru dengan landasan cita-cita luhur yang terkandung dalam pembukaan konstitusi, yaitu demokrasi dan keadilan sosial, dengan secara dinamis memberikan perhatian pada perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. Hal tersebut sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, yang menyatakan dalam Bab Pendahuluan Bagian Pengantar alinea ketiga bahwa upaya pembenahan situasi krisis multidimensional ini adalah dengan cara "... koreksi terhadap wacana pembangunan Orde Baru sebagai dasar pijakan dan sasaran reformasi."
Pada masa di mana dinamika masyarakat yang begitu cepat berubah dan berkembang saat ini, dan pada masa di mana pandangan-pandangan yang konservatif tidak lagi mendapat ruang untuk merefleksikan dirinya, hukum Indonesia dipacu untuk membenahi kerangka-kerangka tubuhnya yang telah jatuh berserakan karena selubung dan rekat-rekat pembalutnya telah ditanggalkan, sehingga terkuaklah kenyataan bahwa ia sebenarnya tidak pernah tumbuh dan berkembang. Dengan bahan dasar kerangka-kerangka tersebut diharapkan disusun suatu bangunan yang kokoh, yang tidak bersandar dan disandari oleh bangunan-bangunan lain.
Segera setelah itu hukum Indonesia dituntut untuk dapat mengkreasikan bentuknya menjadi pedoman bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus sebagai pencari jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan hukum dalam masyarakat Indonesia. Beban yang sungguh berat dan sarat dengan idealisme yang tampaknya tidak didasarkan pada kenyataan-kenyataan kemasyarakatan yang sesungguhnya.
Kajian ini berusaha untuk menempatkan proses pembangunan hukum Indonesia pada keadaan yang sesungguhnya dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia sampai saat ini, dan kemudian secara jernih berupaya membangun langkah-langkah yang mendasar bagi proses pembangunan hukum Indonesia di masa mendatang. Dalam kajian ini hukum beserta seluruh sistem dan instrumen pendukungnya dianggap sebagai hasil dari konstruksi tatanan masyarakat dalam rentang waktu kesejarahan yang panjang seiring dengan dinamika nasional dan internasional.
Dengan pangkal tolak pemikiran semacam itu, kajian ini bertujuan pertama-tama untuk mendeskripsikan kondisi obyektif bidang hukum di Indonesia saat ini dan kemudian menganalisisnya dalam kerangka dinamika perkembangan masyarakat Indonesia beserta kebutuhan-kebutuhannya di masa mendatang, khususnya di bidang hukum. Setelah itu akan diajukan rekomendasi berupa komentar dan usulan terhadap butir-butir dari draft Rancangan GBHN Tahun 1999 Bidang Hukum yang disusun oleh Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Dewan Hankamnas) dalam bentuk matriks, sebagai pedoman pelaksanaan politik hukum

1.1.4      Mengetahui pola dasar pembangunan Nasional
Pada masa orde baru pun sebenarnya telah dikenal istilah perencanaan partisipatif melalui Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Daerah (P5D) yang dikelola oleh Departemen Dalam Negeri (Permendagri No 9 Tahun 1982), dengan ketentuan teknis yang sangat rinci. Falsafahnya adalah menjaring aspirasi masyarakat, mulai dari tingkat desa, kecamatan, untuk dibawa ke tingkat pusat melalui serangkaian forum-forum pertemuan dan konsultasi. Namun dalam kenyataannya sangat sedikit usulan-usulan pembangunan dari tingkat desa yang dimasukkan dalam agenda pembangunan Provinsi dan Nasional.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi dimana semangat perubahan dan otonomi daerah telah berkembang sebelum dinamika reformasi terjadi.
Karakteristik lainnya adalah bahwa GBHN dirancang, dirumuskan, dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini memilki keunggulan dibanding ketetapan dalam bentuk Undang-Undang karena mengubah Ketetapan MPR memerlukan konsensus politik yang lebih tinggi daripada undang-undang sehingga lebih menjamin konsistensi dan kesinambungan pembangunan siapa pun presidennya nanti. Konsisten berarti diikuti dan ditaati oleh seluruh penyelenggara negara secara horisontal dan vertikal dari pusat ke daerah. Berkelanjutan artinya diikuti dan ditaati oleh setiap rezim meskipun berganti-ganti setiap lima tahun.
Dokumen perencanaan terkini selepas masa GBHN diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). UU No 25/2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk (1) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan (Pasal 2).
Tujuan-tujuan tersebut sebenarnya mencerminkan bagaimana seharusnya sistem perencanaan pembangunan menghasilkan rencana publik. Namun jika dilihat lebih mendalam, kandungan UU tersebut belum merupakan suatu sistem perencanaan yang mengarah pada tujuan-tujuan di atas. Dalam UU tersebut tidak banyak pembaruan-pembaruan yang berarti bagi praktik perencanaan pembangunan yang telah dijalankan di Indonesia selama ini. Hal yang menonjol dalam UU itu adalah legitimasi eksistensi Kementerian Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang pada masa GBHN dianggap tidak diperlukan lagi kehadirannya.
Seperti juga dalam praktik perencanaan sebelumnya, Undang-Undang tersebut sangat menonjolkan perencanaan sebagai produk (dokumen), baik pada tingkat nasional, daerah, maupun Kementerian/Lembaga. Produk merupakan hal yang penting, namun hal yang lebih penting adalah kualitas proses dalam mencapai dokumen tersebut. Kualitas proses inilah yang boleh jadi tidak disentuh dalam UU No 25/2004. Dalam UU tersebut memang ditegaskan tentang keharusan adanya kelembagaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dalam penyusunan rencana, namun hanya menyebut permukaannya saja (Pasal 10 ayat 3; Pasal 11 ayat 1; dan Pasal 12 ayat 1), tidak seperti pada Pasal-pasal tentang Produk (Dokumen) yang dijelaskan dengan sangat rinci. Hal tersebut mencerminkan masih adanya ‘jurang’ (gap) antara tujuan UU 25/2004 dengan kandungannya, dimana isi kurang mencerminkan jiwa serta semangatnya.
Kondisi di atas menggambarkan bahwa dalam masa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang disertai suasana yang euforia, banyak perencanaan dan pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan sendiri-sendiri. Pendanaannya juga ditunjang oleh berbagai donor baik luar maupun dalam negeri. Perencanaan menjadi tidak terkait satu dengan lainnya, bahkan saling bertentangan, yang pada gilirannya bisa menuju situasi yang kacau (chaotic).
Seyogyanya ‘Musrenbang’ menurut UU 25/2004 tidak terjadi seperti masa orde baru yang bersifat Top-Down. Musrendang haruslah benar-benar menjadi arena komunikasi timbal balik antara lembaga perencanaan dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menetapkan keputusan kolektif. Diantisipasi bahwa prosesnya akan sangat panjang dan melelahkan, namun itulah tantangan untuk mewujudkan perencanaan yang lebih partisipatif.
Bila tidak hati-hati apa yang diamanatkan dalam UU 25/2004 dapat mengulang kesalahan lama, yaitu bahwa perencanaan dipandang sebagai dokumen dan Blueprint yang disusun secara mekanistik, yang seringkali merupakan formalitas (keharusan memiliki), dan hanya merupakan hiasan meja. Sesuatu yang perlu disadari bahwa perencanaan publik merupakan suatu proses interaksi antara birokrasi perencanaan dan publik yang bersifat majemuk. Proses ini harus terjadi secara terus menerus sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik masyarakat.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ketiadaan GBHN merupakan konsekwensi logis dari pemilihan presiden secara langsung. Sebab salahsatu aspek penilaian terhadap calon presiden adalah visi atau rencana atau program yang ditawarkannyadalam upaya pemerintahannya mencapai cita-cita bangsa bernegara. Tawaran tersebut harus dapatdiwujudkannya pada masa jabatannya. Apabila tidak, maka yang bersangkutan akan dianggap gagal,akibatnya dia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat untuk jabatan berikutnya.
Dengan demikian pembuatan „rencana“ atau proses perencanaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa bernegara dimulai semenjak seseorang mencalonkan dirinya menjadi presiden. Kemudian dijabarkannyasetelah yang bersangkutan memenangi pemilu, serta dilaksanakannya, dan senantiasa dievaluasi sertadipertanggung jawabkan kepada rakyat pemilihnya, selaku pemegang kedaulatan tertinggi

3.2 Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan makalah kelompok kami, meskipun penulisan makalah ini jauh dari sempurna minimal kami mengimplementasikan makalah ini. Masih banyak kesalahan penulisan  makalah kelompok kami, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa. Dan kami juga butuh saran dan kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari pada masa sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA
Ø  Ingham, Barbara, (1995), Economics and Development, New York, NY: McGraw Hill.
Ø  Republik Indonesia, (2003), Undang-Undang No 17, Tahun 2003, tentang GBHN, Jakarta.
Ø  Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar